Melihat Tradisi Duata Suku Bajjau atau Bajo Wakatobi ---Suku Bajjau atau Bajo sangat identik dengan kehidupan Bahari atau Laut. Bagi masyarakat Bajo, laut merupakan Ladang, dari lautlah mereka makan dan memenuhi kehidupan lainnya.Suku Bajo sendiri bermukim di atas lautan.
Di Kabupaten Wakatobi - Sulawesi Tenggara, terdapat banyak komunitas suku bajo yang tersebar di beberapa tempat atau wilayah perairan. Bajo Mola bermukim di sekitar perairan Wangi-Wangi atau Wanci, Bajo Sampela, Lohoa dan Mantigola bermukim di perairan Kecamatan Kaledupa, dan Bajo Lamanggu bermukim di perairan kecamatan Tomia.
Wakatobi sendiri terdiri dari 4 pulau besar yang kemudian menjadi singkatan nama WA (Wangi-Wangi/Ibu Kota Kabupaten) KA (Kec. Kaledupa) TO (Kec. Tomia) dan BI ( Kec. Binongko) dan 4 Kecamatan ini berpisah pulau 1 dengan lainnya.
Dalam sejarah masa lampau kehidupan komunitas Bajo selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sehingga tidak heran jika suku bajo bisa ditemukan hampir di semua negara yang memiliki pesisir pantai.
Meski tradisi mereka yang dikenal Nomaden, namun hal ini tidak melunturkan Kebudayaan atau tradisi masyarakat Bajo itu sendiri. Dan salah satu Tradisi yang masih mereka pertahankan hingga saat ini adalah Tradisi atau Budaya DUATA.
Duata merupakan kata saduran dari sebutahn Dewata. Dalam keyakinan masyarakat bajo Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma menjadi sosok manusia.
Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku Bajo, Ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis.
Dalam prosesi duata , sejumlah tetua adat terlihat berkumpul di satu tempat pengobatan. Berbentuk satu ruangan dengan ukuran sekitar 2 meter persegi. Dihiasi dengan janur kuning bagian atasnya tanpa pagar. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan lambang kebesaran suku bajo yang diyakini membawa keberkahan.
Tetua adat yang didominasi perempuan lanjut usia meramu berbagai jenis pelengkap ritual. Ada beras berwarna warni yang dientuk melingar diatas daun pisang. Ini melambangkan warna-warni sifat yang dimiliki manusia. Ada pula dupa, yang pula pembaran dupa untuk mengharumkan sekitar pelakksanan kegiatan, daun sirih, kelapa dan pisang.
Setelah semuanya terracik sebagai mana kebiasaan sebelumnya, orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo (lagu masyarakat Bajo) tak pernah putus dinyanyikan. Demikian dengan tabuhan gendang. Dibarisan terdepan delapan orang gadis cantik berpakaian adat juga tak hentinya-hentinya nenari tarian Ngigal.
Di atas perahu semua peserta juga menari Ngigal (tarian bajo) untuk menyemangati oranng yang diobati agar kembali menemukan semangat hidupnya. Sementara tetua adat melakukan prosesi larungan. Ada pisang dan beberapa jenis bahan komsumsi serta perlengkapan tidur, berupa bantal dan tikar.
Menurut cerita porosesi ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Dalam kehidupan masyarakat bajo mempercayai bahwa setiap kelahiran anak pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut.
Sehingga jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercayai bahwa sebagian semangat hidup orang itu telah dambil oleh saudara kembarnya yang disebut Kakak dan dibawa kelaut sebagian lagi diambil oleh Dewa dan di bawa naik dilangit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang dibawa ke laut dan ke langit.
Usai pelarungan, si sakit dan tetua adat kembali ditempat semula. Orang yang sakit akan kembali melaui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan bunga pinang (mayah). Berguna untuk membersihkan penyakit yang ada dalam tubunya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit.
Tetua adat juga akan mengikatkan benag dilengan si sakit sebagai obat, konon benang ini berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakit. Dari benang yang sebelumya tersimpan dalam cangkir tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembut atau tidak.
Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutanya orang sakit tersebut di putari beberapa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan.
Pengujian kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti sisakit telah sembuh.
Selanjutnya si sakit akan menghabur-hamburkan beras sebagai wujud kebegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si Sakit.
Dalam kehidupan masyarakat Bajo pelaksanaan Tradisi Duata tidak terbatas pada prosesi pengobatan tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Tradisi ini juga dilakukan untuk memberikan penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Janggo atau Mbi Gulli.
Tradisi atau budaya duata ini sering ditampilkan pada Festival Budaya Wakatobi setiap Tahunnya ataupun kegiatan-kegiatan nasional maupun internasional dimana turis Domestik dan Mancanegara datang ke Wakatobi.
Demikianlah Artikel Travel Indonesia tentang Tradisi Duata Suku Bajjau atau Bajo Wakatobi pada kesempatan kali ini. Baca juga Artikel Wisata Indonesia tentang Objek Wisata Unik Pantai Karang Bolong Anyer pada arsip travel sebelumnya. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi referensi wisata bagi Anda dan keluarga!