Wisata Budaya dan Tradisi Upacara Bakar Tongkang di Riau


Bakar Tongkang di Riau
Wisata Budaya dan Tradisi Upacara Bakar Tongkang di Riau ---Saat melakukan travelling ke Kota di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, belum lengkap tanpa melihat kemeriahan Upacara Bakar Tongkang. Berbagai lampion warna keberuntungan budaya Tionghoa, merah, dan kepulan asap dupa, serta bunyi-bunyian riuh rendah diiringi gumam doa-doa. Warga keturunan Tionghoa menggelar upacara Bakar Tongkang, yaitu membakar patung kapal layar tradisional negeri China.

Lidah api menjilat-jilat, asapnya pun mengepul kehitaman membakar patung kapal yang berhiaskan kertas berwarna-warni. Tongkang itu diisi dengan berbagai macam lambang barang. Hasil bumi serta hasil laut yang menjadi kebanggaan kota Bagansiapi-api selama puluhan tahun.

Sedangkan di sekelilingnya, orang ramai bersorak-sorai sambil menabuh gendang kecil serta gong bertalu-talu menggemuruh memekakkan telinga. Ribuan orang menggumam berdoa sambil mengacung-acungkan hio.

Asap hio yang wangi itu bercampur dengan asap bakaran ribuan lembar kertas doa warna kuning yang digelar di bawah kapal membuat mata jadi pedih, tapi para warga keturunan Tionghoa itu tetap bertahan. Sambil menunggu tumbangnya dua tiang utama kapal yang dibakar belasan tanki di sekeliling patung kapal.

Mereka berpakaian tradisional Tionghoa, bertelanjang kaki, membawa sebilah pedang kecil di tangan kiri, memegang mopit (kuas untuk menulis) di tangan kanan, dan sebagian dengan pipi yang tertusuk kawat runcing. Tusukan itu tidak mengakibatkan perdarahan sama sekali, mereka pun tidak menampakkan kesakitannya.

Upacara Bakar Tongkang ini diadakan sekali setahun pada bulan ke enam pada tanggal 16 untuk menghormati dewa keberuntungan mereka, Ong Ya Kong. Dewa yang menurut kepercayaan warga keturunan tersebut dibawa serta dari China daratan bersama dengan pelayaran perantauan mereka ke arah Selatan.

Para perantau itu berabad-abad yang lalu menggunakan tongkang meninggalkan Hokkian (Fujian) guna mencari penghidupan baru di Pulau Sumatera. Mereka kemudian mendarat di Kota Bagansiapi-api, karena melihat ada nyala api di daratan. Semula mereka menyebut daerah itu sebagai Bagan Api.

Sejak tanggal 14, mereka sudah melakukan sembahyang di kelenteng yang jumlahnya mencapai ratusan di kota ikan itu. Boleh dikatakan, hampir tiap dua rumah terdapat sebuah kelenteng. Di pusat kota, di depan kelenteng utama, dipasang sebuah panggung besar tempat untuk mengadakan pergelaran seni seperti musik maupun teater tradisional China setiap malam.

Setiap rumah memasang lampion merah yang diikat di depan maupun di atas jalan-jalan kota itu. Pemandangannya amat menarik, kita seolah-olah seperti berada di sebuah perkampungan di RRC atau Taiwan.

Mereka juga membangun sebuah patung kapal dari kayu, kain serta kertas berwarna-warni, tapi lebih dominan warna merah-kuningnya. Di dalamnya ditaruh beras, sayuran, atau barang-barang lain yang bisa disimbolkan dengan patung-patung kertas kecil.

Menurut Akong, salah seorang warga keturunan, di zaman makmur beberapa belas tahun yang lalu, orang sampai mau menaruh perhiasan emas sebagai rasa syukur serta persembahan kepada Ong Ya Kong yang telah membantunya mencari rezeki di tanah rantau.

Sambil menanti penyelesaian kapal, maka berdatanganlah belasan rombongan yang berasal dari masing-masing kelenteng atau tepekong untuk bergabung. Mereka masing-masing mengiring seorang pemimpin doa, semacam dukun, yang disebut tan ki, dalam keadaan trance.

Mereka adalah orang pilihan dari masing-masing kelompok. Tampak di antaranya beberapa orang wanita. Dalam keadaan seperti itu mereka sering diminta pertolongan, misalnya untuk pengobatan, ramalan nasib, dan sebagainya.

Jalannya Upacara Bakar Tongkang
Sekitar pukul 16.00 petang, arak-arakan itu berangkat dimulai dari pusat kota menuju ke kampung Baikbaik yang terletak tidak jauh dari pantai. Pawai itu diawali oleh serombongan regu drumband. Beberapa orang warga pribumi ikut berpartisipasi dalam upacara tradisional tersebut.

Di sepanjang jalan, warga keturunan menyambutnya dengan mengacungkan hio sambil komat-kamit berdoa meminta sesuatu.

Setelah berjalan lambat-lambat selama lebih kurang sejam, rombongan itu tiba di sebuah lapangan seluas setengah lapangan sepakbola. Di sanalah kapal itu dibakar dengan diiringi gemuruh pukulan gendang dan gong tradisional China.

Pelan-pelan kapal itu dilalap api. Warga keturunan menanti jatuhnya dua tiang utama kapal. Bila jatuh ke arah daratan, maka mereka percaya bahwa hasil bumi (petani) akan lebih maju ketimbang hasil laut (nelayan).

Aguan, seorang warga Jalan Bintang mengharapkan, upacara seperti ini akan lebih meriah lagi di masa mendatang, karena kedatangan turis sedikit banyak meningkatkan pendapatan mereka.
Demikianlah Artikel Travel Indonesia tentang Wisata Budaya dan Tradisi Upacara Bakar Tongkang di Riau pada kesempatan kali ini. Baca juga Artikel Wisata Indonesia sebelumnya tentang Wisata Budaya dan Tradisi Pesta Bakar Batu di Papua. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi referensi wisata bagi Anda dan keluarga!


Cari Tiket Pesawat dan Hotel Idaman Untuk Wisata Anda