Mengunjungi Beberapa Situs Sejarah Jejak Kota Jakarta Tempo Dulu ---Mempelajari masa lalu bukan cuma pekerjaan para sejarawan. Para pelancong pun bisa ikut menikmatinya lewat sisa dan Situs Sejarah Jakarta yang tertinggal.
Biasanya acara rekreatif ini makin ciamik bila informasi yang disampaikan pun akurat. Namun repotnya, di negeri ini tak semua peninggalan sejarah berada dalam kondisi prima. Sudah tak terawat, terlupakan pula keberadaannya. Kalau tak percaya, mari sejenak ”cari angin” ke bilangan Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta. Di kawasan ini, setidaknya ada beberapa situs sejarah yang bisa kita perbandingkan nilai sejarah dan kondisinya saat ini.
Gereja Sion
Sebuah gereja peninggalan orang Portugis yang dulu disebut Portugeesche Buitenkerk. Artinya, gereja Portugis di luar (tembok) Kota. Sebab, sampai pada awal abad ke-19 masih ada gereja Portugis lainnya yang ada di dalam Kota.Monumen Peter Erberveld
Gereja Sion terletak di sudut jalan panjang ini. Kira-kira 300 meter dari Stasiun Beos, Kota, berjalan ke arah Mangga Dua, kita bakal menemukan pangkal jalan yang di sudut kirinya terbangun gereja ini.
Dari Gereja Sion, sedikit lebih jauh menyusuri Jalan Pangeran Jayakarta kita melihat showroom mobil Toyota. Di tempat ini, beberapa tahun lalu terdapat sebuah monumen yang agak aneh.Makam Raden Kartadria
Sebuah tembok bercat putih dan di atasnya dipasang sebuah tengkorak yang terbuat dari gips. Pada dinding monumen tertulis teks dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa.
Monumen sengaja dibuat untuk kenang-kenangan atas peristiwa hukuman mati terhadap Peter Erberveld. Menurut Adolf Heukeun, pengamat sejarah Batavia, Erberveld adalah seorang yang cukup berpendidikan.
Ia keturunan seorang Jerman kaya yang menikahi wanita Thailand. Peter Erberveld sendiri berasal dari Kota Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian Kota Wuppertal di negara bagian Nordrhein-Westphalen, Jerman.
Peter Erberveld banyak berhubungan dengan masyarakat lokal seputar Batavia. Konon, ia malah sudah berhubungan dengan putra-putri Suropati, yang terus memerangi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Jawa Timur. Katanya ia suka membagikan piringan tembaga yang kecil kepada pengagum-pengagumnya sebagai jimat.
Laporan resmi VOC menyebutkan, bahwa Erberveld bersama Raden Kartadria – seorang Jawa – sejak lama berencana membunuh semua penduduk Belanda di Batavia pada pesta malam tahun baru 1722. Kabarnya, Erberveld ingin menjadi kepala Kota Batavia, sedang Raden Kartadria mau menjabat patih daerah luar kota.
Ada sumber lain yang mengatakan bahwa sultan dari Banten, yang diminta Erberveld untuk mendukung rencana pemberontakan, memberi tahu sang gubernur jenderal. Pasalnya sang sultan cemas akan pengaruh Erberveld dan Kartadria dalam wilayah kekuasaannya.
Tiga hari menjelang rencana pembunuhan itu dilakukan, semua peserta pertemuan rahasia yang berlangsung di rumah Erberveld, ditangkap. Tempatnya persis di showroom mobil saat ini. Sejak 1985, ruang pamer itu ”sukses” menggeser keberadaan situs sejarah Erberveld. Ini satu contoh betapa ”noraknya” bangsa ini dalam menghargai sisa sejarah.
Bersama tujuh belas pengikutnya yang kesemuanya orang Indonesia, Erberveld bersama Kartadria dihukum mati pada 22 April 1722. Pelaksanaan hukuman yang sadis itu digelar di lapangan sebelah selatan Benteng Batavia. Bayangkan, tubuh mereka semua dicincang dan jantung dicopot. Saking sadisnya, tubuh itu ditarik ke empat penjuru dengan empat kuda sampai pecah jadi empat bagian.
Karena alasan keamanan, pembunuhan ini tak dilakukan di depan Balai Kota. Orang Belanda khawatir pengikut-pengikut yang belum tertangkap akan menuntut balas. Kampung sekitar bekas monumen masih disebut Kampung Pecah Kulit.
Sisa sejarah yang masih tertinggal juga masih bisa dilihat kalau menelusuri Jalan Pangeran Jayakarta lebih ke dalam. Tak berapa jauh dari Gereja Sion ke arah Jalan Gunung Sahari, sesudah melewati jalan layang kereta api, kita bakal menemukan lorong sempit. Di bagian depannya terpampang sebuah papan informasi. Inilah tanda yang bisa mengarahkan menuju makam Raden Kartadria, sahabat Peter Erberveld yang ikut dihukum mati Kompeni.Kapitan China Pertama
Ketimbang monumen Erberveld, makam ini boleh dibilang lebih beruntung nasibnya. Karena dikeramatkan, kondisinya selalu terpelihara. Bau harum wangi bunga merasuk ke seluruh bangunan pelindung yang luasnya tujuh kali tujuh meter. Lantai keramiknya juga bersih. Walau terletak di gang yang sempit, tipikal perumahan padat di Ibu Kota, makam Raden Kartadria selalu dikunjungi para peziarah.
Tahun 1984, makam Kartadria dipugar. Dibuatkan bangunan pelindung dari tembok yang juga bisa dipakai untuk keperluan wirid dan pembacaan ayat suci Alquran.
Hebatnya, dana pemugaran itu bukan datang dari anggaran pemerintah. Namun justru keluar dari kocek salah seorang peziarah. Orang ini bernama Drs H Basoeki dari Semarang. Di bagian pintu masuk, ada sebuah plakat pemugaran yang memuat informasi ini.
Keluar dari gang makam Kartadria, sekitar lima ratus meter kita akan menemukan Gang Taruna. Gang sempit ini letaknya di sebelah kiri ke arah Jalan Gunung Sahari. Dahulu, ”jalan tikus” ini disebut Gang Souw Beng Kong. Sebab di dalamnya terdapat makam Souw Beng Kong, kapitan China pertama di Batavia.Demikianlah Artikel Travel Indonesia tentang Situs Sejarah Jejak Kota dJakarta Tempo Dulu pada kesempatan kali ini. Baca juga Artikel Wisata Indonesia tentang Wahana Kapal Hovercraft di Taman Wisata Mekarsari Bogor pada arsip travel sebelumnya. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi referensi wisata bagi Anda dan keluarga!
Kalau dibandingkan dengan makam Kartadria, makam Tionghoa tertua satu-satunya di Batavia yang tinggal batu nisan (bong-pai) itu kondisinya sangat menyedihkan. Letaknya di tengah permukiman yang padat penduduk hingga amat sulit untuk ditemukan. Bagaimana tidak, sekarang ini makam tersebut hanya tinggal kelihatan bagian mukanya saja. Di atasnya dibangun rumah bertingkat dengan dinding tripleks dan tembok.
Pada tahun 1930-an kompleks pemakaman keluarga Souw ini masih dikelilingi pohon-pohon kelapa yang rimbun. Makam ini pemah dipugar oleh Kong Koan (Dewan Opsir Tionghoa) untuk pertama kalinya tahun 1909 dan kedua kalinya tahun 1929 yang saat itu di bawah pimpinan Majoorder Chineezen Khouw Kim An (1875-1946).
Inskripsi dalam bahasa Tionghoa dan Belanda di kedua sisi kiri dan kanan bong-pai asli, ditulis oleh Majoor Khouw Kim An tertanggal 11 Oktober 1929, memberikan riwayat singkat Souw Beng Kong dan menegaskan bahwa bong-pai tersebut dipugar di tahun itu atas biaya Kong Koan.
Souw Beng Kong (atau Bencon, dalam naskah Belanda) adalah salah satu figur penting dalam pengembangan awal kota Batavia. Ia lahir kira-kira tahun 1580 dalam periode Banlek (1573-1620) dari kaisar Beng Sin Tjong di kabupaten Tang-oa” (Tong’an), karesidenan Coan-ciu (Quanzhou), provinsi Hokkian (Fujian), China Selatan.
Pada 11 Oktober 1619 Souw Beng Kong diangkat pertama kali sebagai overste (opperste) der Chineezen. Tahun 1625 gelar itu diubah menjadi cappiteijn ofte overste der Chineezen, kemudian tahun 1628 menjadi capiteijn der Chineezen. Dengan demikian ia menjadi kapitan China— begitulah jabatan ini dikenal di kalangan penduduk— pertama di Batavia dan juga di Nusantara.
Ia menjadi penasihat resmi mengenai adat-istiadat Tionghoa pada pengadilan Belanda sejauh menyangkut adat-istiadat Tionghoa. Selain itu ia juga memiliki kapal, mengurus tempat judi, pembuatan uang tembaga, serta mengawasi rumah timbang bagi semua barang milik orang Tionghoa.
Ia mengawasi pembangunan rumah-rumah para pejabat Belanda, dengan demikian ialah aannemer (kontraktor) Tionghoa pertama di kota ini. Ia juga bersahabat karib dengan Gouverneur Generaal Jan Pieterszoon Coen.